Sabtu, 16 Februari 2013

Aji saka

Aji Saka: Asal Mula Huruf Jawa

Jawa Tengah – Indonesia
                                                     
Alkisah, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan yang sakti mandraguna yang bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Setiap orang yang melihatnya pastilah tertarik kepadanya. Ia  juga seorang anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang sangat setia menemaninya bernama Dora dan Sembada.
Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Hai Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun kecuali sampai aku sendiri yang mengambilnya,Ingat baik-baik perkataanku ini Sembada!” pesan Aji Saka kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan,dan tidak akan saya berikan kepada siapapun!” jawab Sembada.
Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka hanya berjalan kaki saja dan tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka.
Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong dan Aji Saka langsung berhenti.
“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong aku!!!” demikian suara itu terdengar.
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei apa-apaan ini, hentikan perbuatan kalian sekarang juga!” seru Aji Saka.
Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu terus menerus hingga lelaki tersebut kesakitan dan bercucuran darah di tubuhnya. Melihat tindakan kedua perampok tersebut , Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri.
Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu dan megobati luka laki-laki korban perampokan itu.
“Terima kasih nak atas pertolongannya,kamu siapa?dan darimana kamu berasal?”Tanya lelaki itu
“sama-sama, Pak! Saya Aji Saka dari dusun Medang kawit dan ini Dora Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini sendirian saja?” tanya Aji Saka dengan herannya.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita kepada Aji Saka bahwa dia adalah seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamulan yang sedang mencari tempat berlindung. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia yang tidak lain juga rakyatnya sendiri
. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut dimangsa Prabu Dewata Cengkar, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain dan kebetulan lelaki itu sedang mengungsi di Hutan ini.
Aji Saka dan abdinya tersentak sangat kaget dan heran mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak bukankah prabu Dewata Cengkar juga seorang manusia biasa?” tanya Aji Saka dengan sangat antusiasnya.
“Iya Dia memang manusia biasa tetapi Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar selama ini memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana yang secara tidak sengaja mengiris jarinya, lalu potongan jari juru masak itu masuk ke dalam sup yang akan disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukai sup buatan juru masak itu. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu .
Mendengar  pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamulan menuju ke istana Prabu Dewata Cengkar. Ia ingin sekali menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar.
Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan melewati berbagai rintangan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya sampailah mereka di kota Kerajaan Medang Kamukan yang rakyatnya sedang kalang kabut dengan perilaku rajanya.
Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan,tak ada aktivitas rakyat sedikitpun terlihat di kota ini. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, ada juga rumah yang sudah tak berpenghuni karena rakyatnya sudah bertebaran keluar daerah untuk mengungsi karena takut dimangsa oleh sang Prabu yang sangat kejam dan seenak hatinya itu sendiri.
Ditengah kesepian kota itu terjadilah perbincangan singkat antara Aji Saka dan abdinya yang senantiasa setia padanya
“Apa yang harus kita lakukan saat ini, Tuan?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja Dora! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana ini menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas dengan wajah yang tampak tenang.
“Baik Tuan ,akan saya tunggu hingga Tuan keluar dari sini”jawab Dora
Dengan gagahnya pemuda tampan itu berjalan menuju ke istana tanpa ada perasaan ragu sedikitpun dirasanya. Memang pada saat itu suasana di sekitar istana tampak sepi tak nampak batang hidung seorang pun. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana menjaga seseorang yang akan melewati gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda !” cegat salah seorang pengawal kerajaan ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana. Lalu Aji saka menghentikan langkahnya karena mendengar teriakan pengawal tersebut.
“Kamu siapa,darimana dan apa tujuanmu datang kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin sekali bertemu dengan sang Prabu saat ini,dan tolong perkenankan Saya masuk Saya mohon Tuan  ” jawab Aji Saka dengan memohon kepada pengawal tersebut.
“Hai, Anak Muda! Pikirlah sekali lagi Apakah kamu yakin tidak akan takut dimangsa sang Prabu, sedangkan rakyat yang lain saja sudah lari terbirit-birit karena takut dimakan oleh sang prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah,Tuan-Tuan! bahwa Tujuan saya datang kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu Dewata Cengkar untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana spontan terkejut mendengar jawaban Aji Saka dan dengan perasaan sedikit tidak percaya. Tetapi Tanpa banyak tanya, para pengawal itu pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana dan bertemu dengan Dewata cengkar.
Saat berada di dalam istana,pemandangan yang ia dapati adalah Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena sudah berhari-hari Patih Jugul tidak membawakan mangsa untuk Dia makan.
 Tanpa rasa takut sedikit pun,Aji Saka langsung menghadap kepada sang Prabu Dewata cengkar dan menyerahkan dirinya  untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika memang Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini dan hamba sangatlah Ikhlas jika prabu mau” kata Aji Saka dengan sedikit menunndukkan kepalanya.
Betapa senang bukan kepalang hati sang Prabu dikala  mendapat tawaran makanan. Dengan perasaan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak dan dihidangkan untuknya. wahh betapa lezat pikirnya memakan seseorang yang masih muda.
 Ketika Patih Jugul akan menangkap Aji saka,  Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba mempunyai satu permintaan saja. Hamba sangat memohon imbalan sebidang tanah seluas serban yang hamba bawa ini Tuan” pinta Aji Saka sambil menunjukkan serban yang sedang dikenakannya.
“Hanya itu sajakah permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta Tanah yang lebih luas lagi? Jika kamu mau saya bisa memberikan 5x lipat dari luas tanah yang kamu inginkan ini” sang Prabu menawarkan.
“Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini saja saya sudah sangat senang menerimanya gusti bagi saya sudah lebih dari cukup” jawab Aji Saka dengan tegas.
“Baiklah kalau begitu,ketahuilah bahwa itu permintaan yang sangat gampang bagiku Anak Muda! Sebelum aku memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu” kata sang Prabu sambil tertawa.
Dengan tidak menunggu lama Aji Saka pun melepas serban yang sedang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.
“Ampun, Gusti! Bukannya saya tidak mempercayai pengawal kerajaan  anda tetapi menurut Saya alangkah baiknya untuk menghindari kecurangan, saya sangat memohon supaya Gusti sendiri saja yang mengukurnya” ujar Aji Saka.
Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Langsung saja Perlahan-lahan ia melangkah mundur sambil mengulur serban milik Aji Saka itu. Tetapi anehnya, setiap diulur oleh sang prabu, serban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan.
 Tetapi karena saking senangnya Ia mendapatkan mangsa yang masih muda dan segar, hingga sang Prabu tak menyadarinya dan terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan.
 Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serban miliknya itu, spontan saja sang Prabu pun terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih di tengah laut.
 Mengetahui kabar menggembirakan tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka dengan perasaan tenang tanpa ada rasa khawatir sedikitpun karena Prabu Dewata Cengkar sudah terjungkal ketengah laut.
Selang beberapa hari Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dan memiliki gelar Prabu Anom Aji Saka.
Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan sangat arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari, ketika sedang duduk di istana Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya.
“Dora! Pergilah kamu ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan saja kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu mengambil keris itu,” titah Raja yang baru itu.
“Daulah, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri meninggalkan Aji Saka untuk segera melaksanakan tugasnya.
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu kepada sahabatnya tersebut yang memang sudah lama tak bertatap muka.
 Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.
“Sembada, sahabatku! Taukah Engkau bahwa Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana” ungkap Dora.
“Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.
Karena merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana dan diberikan kepada Tuannya.
Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing karena tak mau dianggap berkhianat dari Aji Saka.
Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu,di kerajaan Medang Kamulan Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng untuk membawa kerisnya tersebut.
“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka karena sangat khawatir pada abdinya.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya setelah ia tiba di sana.
Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. Betapa menyesalnya Aji Saka waktu itu,namun apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur dan kedua abdinya telah tak bernyawa lagi.
Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau  dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan. Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:
Artinya:
Ha na ca ra ka       : Ada utusan
Da ta sa wa la         : Saling bertengkar
Pa dha ja ya nya    : Sama saktinya
Ma ga ba tha nga   : Mati bersama
* * *









Demikian legenda Aji Saka: Asal Mula Huruf Jawa, dari daerah Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari legenda di atas adalah bahwa orang yang suka menolong akan mendapat ganjaran yang setimpal, seperti Aji Saka. Ia telah menyelamatkan rakyat Negeri Medang Kamulan dari keberingasan Prabu Dewata Cengkar yang suka memangsa manusia itu. Berkat pertolongannya, rakya Negeri Medang Kamulan pun menobatkannya menjadi raja untuk menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat suka menolong ini sangatlah dijunjung tinggi. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
adat hidup Melayu terpilih:
sesama makhluk berbagi kasih
menolong dengan muka yang jernih
menolong dengan hati yang bersih
pantang mencari silang selisih
taat serta tiada beralih